Rabu, 15 Desember 2010

Biola untuk Reva


Pagi kembali menyambut, saat mentari masih bersembunyi malu di balik bukit tampak seorang gadis berambut panjang duduk di atas hijaunya padang rumput. Nama gadis itu adalah Reva, seorang gadis dengan seribu pesona yang ada padanya. Selain cantik Reva memiliki prestasi yang sangat membanggakan di sekolahnya. Dan satu hal lagi, Reva mempunyai suatu kegemaran yaitu memainkan biola. Di tengah segar udara pagi Reva dengan lembut memainkan biola di tangannya. Maka terdengarlah alunan merdu mengiringi kicau burung yang terbang dengan riangnya menyambut hari. Di saat Reva sedang asyik dengan biolanya, tiba-tiba terdengar seoarang lelaki memanggil namanya dari dalam rumah.
“Reva, dimana kamu?” teriak ayah Reva dari dalam rumah.
Mendengar panggilan itu Reva langsung menghentikan permainan biolanya dan menyembunyikannya di balik semak. Setelah menyembunyikan biola kesayangannya itu ia langsung berlari menuju rumah.
“Ya Ayah ! Reva disini,“ jawab Reva dengan nafas terengah – engah.
“Dari mana saja kamu, bukankah kau seharusnya sudah harus bersiap untuk ke sekolah?” tanya ayah Reva dengan tegas.
“Reva habis dari …………” belum sempat melanjutkan kalimatnya ayah Reva sudah memotongnya.
“Bermain dengan benda tak berguna itu lagi? “ bentakan ayahnya membuat Reva hanya menundukkan kepalanya dan meneteskan air mata.
“Mengapa kamu selalu menghabiskan waktumu bersama barang rongsokan itu, bukankah lebih baik untukmu untuk belajar lebih keras supaya kelak kamu bisa menjadi dokter seperti ibumu dulu!“ bentak ayah Reva padanya. Ayah Reva sangat membenci biola karena ibu Reva meninggal saat pergi membelikan biola untuk Reva.
“Benda itu punya nama, Yah. Benda itu pula yang membuatku tetap merasa hidup. Dan satu lagi, Ibu sudah meninggal dan aku tidak bisa menjadi dirinya. Aku punya jalan sendiri,“ kata-kata tersebut muncul begitu saja dari bibir Reva.
“Terserah, Ayah tidak mau lagi mendengarmu memainkan benda itu. “
Tanpa mengucap sepatah kata pun Reva langsung berlari menuju kamarnya dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya.
Setelah itu Reva berangkat ke sekolahnya. Dengan perasaan sedih dia melangkahkan kakinya menyusuri jalan kecil dengan pohon-pohon yang berjajar di kanan kirinya itu. Saat Reva berjalan sendiri tiba–tiba seorang pria menghampirinya.
“Selamat pagi Nona manis, bagaimana kabarmu hari ini?” sapa pria tampan yang bernama Andi itu. Andi adalah kekasih Reva yang selalu mendampingi Reva di saat senang maupun sedih. Namun ayah Reva tidak menyetujui hubungan mereka karena Andi adalah anak yatim piatu.
Mendengar perkataan kekasihnya Reva tidak mengucap sepatah kata pun. Namun air matalah yang keluar menyambut sapaan kekasihnya itu yang membuat Andi merasa kebingungan.
“Apa yang telah terjadi padamu Reva?“ tanya Andi cemas.
“Aku tidak kuat Andi, aku tak sanggup menjalani semua ini,“ ucap Reva.
“Tenanglah Reva, aku akan selalu ada untukmu. Kau bisa menceritakan semuanya kepadaku,“ kata Andi lembut.
Reva menceritakan semua yang dialaminya pada Andi. Andilah yang selama ini selalu ada dan mencintai Reva dengan tulus. Dia juga selalu mendukung kekasihnya itu dengan sepenuh hatinya. Tidak lama kemudian Andi berhasil menenangkan hati Reva dan mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sekolah berdua.
Waktu pun berlalu dengan cepat. Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Andi mengantar Reva pulang ke rumahnya. Mereka berjalan berdua di bawah terik matahari. Tanpa mereka sadari mereka telah sampai di depan rumah Reva.
“Sudah sampai ya? Ya sudah deh aku pulang dulu,” ucap Andi.
“Kamu gak mampir dulu?” tanya Reva pada Andi.
“Gak ah! Aku langsung pulang aja,” jawab Andi.
Andi pun pulang ke rumahnya. Sementara Reva masuk ke dalam rumahnya, di dalam rumah Reva terkejut karena ia melihat ayahnya sudah berada di dalam rumah. Tidak biasanya pada jam seperti ini ayah Reva sudah pulang dari kantornya.
“A….Ayah? Ayah kok sudah pulang, inikan baru jam 3?” tanya Reva dengan perasaan takut.
“Kenapa, kamu takut Ayah melihatmu bersama pemuda miskin tanpa masa depan itu? Sudah berapa kali Ayah bilang kepadamu untuk menjauhinya!?” bentak ayah Reva dengan keras.
“Kenapa Ayah selalu memandang semua hal dari harta, Andi tulus mencintai Reva. Walaupun dia miskin namun dia selalu menjaga Reva,” jawab Reva.
Karena merasa sangat terpukul Reva langsung berlari menuju kamarnya. Di dalam kamar dia menangis memikirikan kepedihan pada dirinya. Setelah beberapa menit Reva menangis, Reva menghubungi Andi dan mengajaknya bertemu.
“Halo, Andi?” Reva berbicara di telepon sambil meneteskan air matanya.
“Iya, ada apa Reva?” jawab Andi penuh kebingungan mendengar suara Reva yang parau.
“Temui aku sore ini di taman. Aku sangat memerlukanmu,” kata Reva dengan lembut dan singkat.
“Baiklah Reva, aku pasti akan datang,” ucap Andi.
Tanpa mengucapkan kata-kata Reva langsung menutup teleponnya. Sementara Andi hanya bisa menunggu. Andi tidak mungkin menemui Reva di rumahnya karena ayah Reva sangat membencinya dan Reva pasti ikut terkena imbasnya.
Sore yang ditunggu akhirnya tiba. Tampak di sebuah kursi kayu tua Reva duduk sendiri menunggu kedatangan Andi. Di tangannya dipegangnya sebuah biola yang siap mengalunkan sebuah lagu. Satu jam sudah Reva menunggu kekasihnya namun Andi belum juga tiba. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Andi tetapi tidak ada jawaban.
“Andi kamu dimana?” tanya Reva. “Apa yang terjadi sama kamu?” lanjutnya.
Dengan sabar Reva masih menunggu Andi. Tidak lama kemudian titik-titik air mulai menetes di atas kepa Reva. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya membasahi seluruh tubuh Reva.
“Aku akan menunggumu di sini Andi, dan aku gak akan memainkan biola ini sebelum kamu datang menemui aku!” teriak Reva di tengah hujan.
Hingga malam tiba Reva masih menunggu Andi. Dingin mulai menusuk tubuh kecil Reva yang tengah mengigil itu, hingga akhirnya tubuh Reva tak mampu lagi bertahan. Pandangannya menjadi gelap dan akhirnya Reva jatuh terbaring di atas tanah.
Perlahan-lahan Reva membuka matanya, sedikit demi sedikit pandangan Reva menjadi jelas. Dilihatnya di sekitarnya teman-temannya berdiri dengan tatapan cemas dan di sebuah pojok ruangan berdiri ayah Reva.
“Di mana aku? Dan di mana Andi, kok aku gak melihat dia?” ucap Reva perlahan. Namun bukannya menjawab teman-teman Reva hanya diam membisu dengan menampakkan raut kesedihan di wajah mereka.
“Kamu di rumah sakit, kemarin kami menemukanmu pingsan di taman,” kata salah seorang teman Reva.
“Tapi dimana Andi, kenapa ia tidak datang? Padahal dia sudah berjanji akan datang menemui aku.”
Mendengar perkataan Reva suasana ruangan itu menjadi sunyi. Karena tidak ada jawaban Reva terus mendesak hingga akhirnya salah seorang dari mereka menjawabnya.
“Begini Reva, kemarin Andi mengalami kecelakaan dalam sebuah perjalanan. Dokter sudah berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkannya tetapi itu semua sia-sia.” Mendengar penjelasan dari temannya itu tubuh Reva menjadi lemas.
“Gak, gak mungkin. Kalian semua bohong. Andi sudah berjanji padaku bahwa dia akan selalu ada bersamaku dan gak akan pernah meninggalkan aku!” teriak Reva dengan penuh kemarahan.
Tiba-tiba Reva bangun dari tempat tidurnya dan mencoba berlari untuak menemui Andi. Namun belum semapat keluar dari kamar rumah sakit Reva terjatuh. Segera teman-teman dan ayah Reva datang untuk membantunya dan menenangkannya.
“Kenapa, kenapa ini semua harus terjadi padaku? Ini semua salahku. Andai hari itu aku tidak mengajak Andi untuk bertemu aku, pasti semua ini gak akan terjadi.” Reva menangis dan terduduk di lantai rumah sakit yang dingin itu.
“Sudahlah Nak, ini semua bukan salahmu. Ikhlaskan saja dia pergi, masih ada banyak cinta untukmu,” kata ayah Reva seraya mengelus rambut Reva.
“Ayah senang kan dengan semua ini? Pasti dalam hati Ayah sedang tertawa terbahak-bahak,” kata Reva kepada ayahnya. Revapun kembali bangkit dan mencoba untuk keluar dari kamar rumah sakit itu. Akan tetapi sekali lagi Reva terjatuh dan teman-teman Reva kembali menolongnya, namun kali ini ayah Reva hanya diam saja melihat anaknya itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Satu hari telah berlalu, namun kesedihan masih tampak pada wajah Reva. Kenangan manisnya bersama Andi selama ini tidak bisa ia hapus dengan mudah. Setiap hari yang ia lakukan hanya menangis sambil memandang foto Andi. Karena teman-temannya merasa kasihan akhirnya mereka mengantar Reva ke tempat dimana Andi dimakamkan.
Sesampainya di tempat pemakaman pandangan Reva langsung tertuju pada sebuah makam yang bertuliskan Andi. Reva pun lalu duduk di samping makam Andi sambil menangis mengenang seorang yang selama ini selalu mendampinginya. Setelah beberapa saat teman-teman Reva mengajak Reva untuk pulang ke rumah. Kali ini Reva hanya menurut permintaan teman-temannya itu.
Sebulan telah berlalu. Bukannya semakin membaik kondisi Reva justru bertambah buruk. Sekarang Reva menjadi seorang gadis pendiam. Yang ia lakukan hanya mengurung diri di kamarnya. Begitu banyak temannya yang mencoba menghiburnya namun tidak ada yang berhasil. Penyesalan itu selalu datang menghantuinya.
Prestasinya di sekolahpun semakin memburuk. Bahkan yang lebih parah Reva menjadi sangat benci dengan biola yang selama ini sudah ia anggap seperti temannya karena ia berpikir bahwa biola tersebut juga ikut menyebabkan Andi meninggal. Melihat keadaan anaknya yang seperti itu ayah Reva memutuskan untuk mengirim Reva sekolah di Bali.
“Reva, Ayah mau berbicara denganmu dan kali ini Ayah harap kamu akan menuruti semua perkataan Ayah,” perintahnya kepada Reva.
“Demi masa depan kamu Ayah memutuskan untuk menyekolahkanmu di Bali,” kata ayah Reva tegas.
“Apa Ayah sadar berbicara seperti itu? Aku gak mungkin meninggalkan Andi sendirian di sana. Aku akan selalu menjaganya,” balas Reva dengan penuh keyakinan.
“Kali ini kamu tidak bisa menolak permintaan Ayah. Semua ini Ayah lakukan demi kebaikanmu juga. Kamu tidak mungkin selamanya hidup dalam kesedihanmu sendiri,” bentak ayah Reva yang kembali. Namun kali ini Reva tidak menjawab perkataan ayahnya itu.
Akhirnya Reva bersiap berangkat ke Bali dengan perasaan sedih. Reva masih belum siap untuk meninggalkan semua kenangannya bersama Andi walaupun sepenuhnya ia sadar bahwa Andi memang sudah meninggal.
Akhirnya Reva tiba di Bali dengan selamat. Di Bali Reva bersekolah di sebuah sekolah internasional dan tinggal di asrama sekolah itu. Walaupun sudah berada di tempat yang baru, namun Reva belum juga dapat melupakan Andi.
Di suatu sore Reva pergi jalan-jalan untuk menghilangkan kesedihannya. Reva hanya berjalan sendirian karena belum mendapat teman di sekolah barunya. Di tengah perjalanannya Reva melewati sebuah jembatan dan tiba-tiba dia berpikir untuk bunuh diri dengan cara melompat dari atas jembatan. Reva pun naik ke atas jembatan itu, beberapa saat kemudian dia bersiap untuk melompat dari jembatan. Tetapi tubuh Reva ditarik oleh seorang gadis dan dia jatuh kembali ke atas tanah.
“Kamu sudah gila ya?” kata gadis itu dengan penuh ketakutan. “Kamu kan bisa mati, apa kehidupan ini sudah begitu buruknya untukmu?” lanjut gadis cantik itu.
“Sudahlah, masih banyak yang bisa kamu lakukan di dunia ini. Tanpa kamu sadari sesungguhnya masih banyak orang yang menyayangi dan membutuhkanmu,” ucap gadis itu sambil mencoba membangunkan Reva.
“Lepaskan aku, aku hanya ingin mati. Apa kau tahu penderitaan yang aku alami, apa kau merasakan rasa yang kini ada di hatiku? Kau tidak tahu apa-apa,” bentak Reva sambil mengibaskan tangan gadis itu dari bahunya.
“Plaaak!”
Gadis itu menampar Reva hingga membuat Reva terdiam.
“Aku memang tidak tahu apa yang sedang kau rasakan dan apa yang telah kau alami. Namun satu hal yang pasti kematian itu tidak akan menyelesaikan semua masalah yang sedang kau hadapi.”
Mendengar perkataan gadis itu pandangan Reva yang tadinya tajam kini telah berubah menjadi sayu. Setelah itu keduanya berkenalan. Gadis itu ternyata bernama Gladis. Seorang gadis Bali yang kebetulan adalah teman satu sekolah Reva. Setelah berhasil menenangkan Reva, Gladis mengajak Reva untuk kembali ke asrama sekolah mereka. Dan semenjak saat itu keduanya menjadi sahabat.
Suatu hari Gladis mengajak Reva pergi berjalan-jalan. Reva menurut saja ajakan Gladis itu. Setelah beberapa saat mereka berjalan sampailah keduanya di sebuah toko musik.
“Selamat datang di sini Reva, setelah mendengar semua ceritamu aku rasa ini tempat yang sangat cocok untukmu,” kata Gladis dengan senyum lebar terukir di wajahnya.
“Apa maksudmu Gladis?” jawab Reva dengan penuh keheranan.
“Di sini kamu bisa memainkan biola dan mengekspresikan perasaanmu,” balas Gladis sambil menyodorkan sebuah biola kepada Reva.
Mendengar perkataan Gladis, Reva kembali teringat akan masa lalunya. Namun kali ini Reva tidak menangis seperti biasanya. Kini Reva sudah menjadi lebih kuat berkat dukungan Gladis.
“Gak ah, aku tidak mau.” Hanya kata itu yang terucap dari bibir kecilnya.
“Lho kenapa? bukankah kamu sangat senang bermain biola?” tampak Gladis meyakinkan Reva.
Bukannya menjawab Reva keluar begitu saja dari toko musik itu. Melihat kejadian itu Gladis merasa tidak enak, maka dengan segera ia menyusul Reva. Setelah berhasil menyusul langkah Reva, Gladis mengajaknya pulang ke asrama. Sesampainya di asrama Gladis mengantar Reva ke dalam kamarnya.
“Va, maafin aku ya! bukan maksud aku membuatmu sedih,” kata Gladis pelan.
“Gak apa-apa kok, aku gak sedih hanya saja aku sudah berjanji gak akan memainkan biola lagi, aku takut Andi akan marah padaku,” balas Reva.
“Aku yakin Andi gak akan marah. Dia pasti menginginkan yang terbaik bagimu dan dia juga pasti akan senang melihatmu memainkan biola itu lagi,” ucap Gladis sambil memegang kedua tangan Reva.
Setelah beberapa saat mereka berbicara akhirnya Gladis memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Karena tidak ingin merasakan kesedihan kembali maka Reva memutuskan untuk tidur.
Pada suatu pagi, Reva berjalan sendirian di tengah-tengah padang rumput yang masih basah oleh tetes-tetes embun. Sementara dingin kabut masih menyelimuti tubuhnya yang kecil itu. Di tengan kesendiriannya itu dilihatnya sesosok laki-laki berdiri dengan memakai pakaian putih yang tidak asing lagi baginya. Laki-laki itu adalah Andi.
“Gak mungkin, ini gak mungkin terjadi,” pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba laki-laki itu membalikkan badannya dan benar apa yang dipikirkan Reva. Andi kini berdiri tepat dihadapannya. Reva yang hanya bisa diam tidak percaya akan semua yang dialaminya itu. Tanpa mengucap sepatah kata pun Andi menyodorkan sebuah biola kepada Reva.

“Yang terbaik bagimu takkan kubiarkan begitu saja pergi meninggalkanmu,”

ucap Andi sambil tersenyum kecil kepada Reva.
Setelah memberikan biola tersebut Andi langsung pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Reva ingin mengejarnya namun apa daya langkah Andi terasa sangat cepat dan Reva seolah-olah hanya berlari di tempat. Karena merasa tidak berdaya akhirnya Reva berteriak sekeras-kerasnya.
“Andiiiii, tunggu…., Andiiiiiii….!” Reva terus beteriak memanggil nama Andi hingga sebuah suara datang menghampirinya.
“Reva bangun, bangun.” Ternyata suara itu adalah Gladis yang sedang membangunkan Reva dari tidurnya. “Va ada apa? “ ucap Gladis.
“Andi Dis, tadi aku bertemu Andi!” katanya dengan semangat. “Dia bahkan memberikan kepadaku sebuah biola!” lanjutnya.
Seolah tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan oleh Reva, Gladis diam sejenak tanpa memberikan komentar apapun kepada Reva. Lalu Gladis tiba-tiba keluar dari kamar Reva dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan membawa sebuah biola di tangannya. Reva yang melihat hal tersebut langsung mengerutkan dahi. Ternyata biola yang dibawa Gladis tersebut adalah biola yang diberikan Andi kepada Reva di dalam mimpinya.
“Kalau memang benar ini adalah biola yang kamu maksud, aku yakin Andi pasti ingin kamu kembali memainkan biola ini seperti dahulu kembali,” jawab Gladis.
Semenjak kejadian tersebut kini kehidupan Reva kembali seperti dulu. Reva kembali menjelma menjadi seorang gadis periang yang selalu menebarkan kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarnya. Dan yang terpenting yaitu kini Reva kembali menyayangi biola yang telah lama ia tinggalkan itu. Dan pada suatu sore Reva mengajak Gladis pergi ke teman yang ada di dekat asrama mereka.
“Dulu Andi aku ajak bertemu di sebuah taman untuk mendengarkan alunan biolaku, dan sekarang aku akan mewujudkan semua itu,” ucap Reva dengan semangat.
“Baiklah aku akan siap mendengarkan alunan indah biolamu,” kata Gladis yang sudah duduk di atas hijaunya rumput taman itu.
Reva pun memainkan biolanya dengan sangat indah. Orang-orang yang melewati taman itu langsung terhenti dan melihatnya. Mereka semua tercengang mendengar nada-nada yang keluar dari gesekan dawai biola tersebut. Namun di tengah-tengah keindahan suasana tersebut tiba-tiba Reva jatuh pingsan. Orang-orang yang melihat kejadian tersebut langsung mengerumuni Reva, tidak terkecuali Gladis.
“Va, ada apa denganmu? Seseorang tolong panggilkan ambulan!” teriak Gladis di tengah-tengah kerumunan orang-orang.
Akhirnya Reva dibawa ke rumah sakit, setelah dokter memeriksanya ternyata Reva mengidap kanker otak dan usia Reva tidak panjang lagi. Mendengar hal tersebut keduanya bagai disambar petir. Gladis hanya bisa memeluk Reva yang terdiam seolah tidak percaya akan apa yang telah didengarnya.
“Dis, aku harap kamu tidak mengatakan semua ini kepada siapapun juga, bahkan kepada ayahku,” ucap Reva pelan.
“Tapi, Ayahmu harus tahu semua ini Va!” balas Gladis sambil menangis.
“Please Dis, berjanjilah padaku. Kali ini saja kumohon!”
Akhirnya Gladis hanya bisa mengiyakan perkataan sahabatnya itu. Walaupun sebenarnya Gladis merasa kasihan kepada Reva.
Hari-hari berlalu, kondisi Reva menjadi semakin parah. Ia sering pingsan dan mengalami rasa sakit yang luar biasa. Karena merasa kasihan akhirnya Gladis memutuskan untuk pergi menemui ayah Reva dan menceritakan apa yang telah terjadi.
“Selamat siang, apa benar ini rumah Bapak Hendrawan?” tanya Gladis pada ayah Reva.
“Iya saya sendiri, silakan masuk.” Ayah Reva mempersilahkan Gladis untuk masuk ke dalam rumahnya.
Setelah memasuki rumah dan memperkenalkan dirinya, Gladis pun menceritakan semuanya pada ayah Reva. Tentu saja ayah Reva tidak begitu saja percaya akan perkataan gadis yang baru dikenalnya itu. Namun setelah beberapa kali mencoba akhirnya ayah Reva percaya juga.
“Tapi kenapa Reva tidak pernah memberitahuku? Apa dia sudah tidak menganggapku lagi sebagai ayahnya, Apakah dia sudah tidak menyayangiku lagi?”
“Justru sebaliknya, Reva sangat menyayangi Anda dan sangat menghormati Anda. Sebelumnya maaf kalau saya ikut campur namun saya rasa Andalah yang terlalu memaksakan keinginan Anda kepada Reva,” kata Gladis kepada ayah Reva.
Setelah keduanya berbicara panjang lebar akhirnya mereka memutuskan untuk segera kembali ke Bali. Mereka berdua langsung berangkat karena segera ingin bertemu dengan Reva. Sesampainya di Bali keduanya langsung mendatangi asrama Reva dan menuju kamarnya. Namun di dalam kamarnya ternyata Reva tidak ada, keduanya langsung berlari keluar kamar tersebut dan mencari Reva di seluruh penjuru sekolah asrama itu dan meneruskan pencariannya di luar asrama. Berjam-jam mereka mencari dan tidak membuahkan hasil hingga mereka melihat sekelompok orang berdiri di sebuah pantai sedang mengerumuni seorang gadis yang sedang bermain biola.
“Itu pasti Reva, aku yakin itu!” kata Gladis pada ayah Reva sambil menunjuk keramaian itu.
“Benar, itu Reva ayo kita segara menuju ke sana!” ajak ayah Reva.
Mereka berdua segera berlari menuju keramaian tersebut, dilihatnya orang-orang yang terdiam memandang Reva yang sedang memainkan biolanya. Dari wajah mereka terpancar kesedihan yang sangat mendalam. Karena terbawa oleh suasanya yang seperti itu ayah Reva menitihkan air matanya. Setelah selesai memainkan biolanya tiba-tiba Reva jatuh di atas pasir yang putih. Melihat hal tersebut ayah Reva langsung berlari mendatangi anaknya.
“Yah, maafkan Reva. Reva tidak bisa menjadi apa yang Ayah harapkan,” ucap Reva yang bersandar di pangkuan ayahnya.
“Kamu tidak perlu meminta maaf, Ayahlah yang salah terlalu memaksakan kehendak Ayah,” kata Ayah Reva dengan air mata masih mengaliri pipinya.
“Yah, Ayah mau menggendong Reva? Reva ingin berjalan-jalan di pantai ini Yah!” pinta Reva pada Ayahnya.
Tanpa menunggu lagi ayah Reva langsung menggendong Reva di punggungnya diajaknya anaknya itu jalan-jalan menyusuri pantai dengan diiringi matahari yang sudah hampir tenggelam ditelan cakrawala. Sementara Gladis hanya mengikuti keduanya dari belakang.
“Dulu ketika Ibumu masih hidup dia sangat senang bermain di pantai bersamamu, apakah kamu masih ingat saat kita bertamasya bersama dan kamu sembunyi sehingga membuat kami semua kebingungan?” tanya ayah Reva.
Tidak ada jawaban yang terucap dari Reva. Dia hanya diam dan membisu. Ayah Reva baru menyadari kalau anaknya sudah meninggal. Namun dengan langkah berat dia tetap menggendong Reva sambil menceritakan kenangan masa kecil Reva yang penuh keceriaan sambil meneteskan air matanya pada butiran pasir yang terhampar. Gladis juga menyadari kejadian itu dan hanya menangis di belakang keduanya. Kini gadis itu telah pergi untuk selamanya. Dia meninggalkan sejuta kenangan untuk orang-orang di sekitarnya. Akhirnya Reva dimakamkan di sebelah makam Andi. Di atas makam itu diletakkan biola kesayangan Reva. Dan kini cinta antara Reva, Andi dan biolanya kembali menyatu.

Nb : Kebahagiaan gk bisa di ukur cuma dari uang, setiap orang berhak buat mencintai dan di cintai. Jangan pernah membuang sia2 setiap hal dalam hidup kita, kita akan sangat menyesal saat semua itu pergi, menghilang dari hidup kita. ^ - ^

Tidak ada komentar:

Bunda Theresa

Berbicaralah sesedikit mungkin tentang diri sendiri Uruslah sendiri persoalan-persoalan pribadi Hindari rasa ingin tahu Jangan mencampuri ur...